Berikut adalah contoh makalah perbandingan budaya indonesia dengan jepang.
PERBANDINGAN
SEBUAH BUDAYA
PERBANDINGAN
BUDAYA INDONESIA DENGAN JEPANG
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai Ujian Tengah Semester dari
matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar dengan judul “Perbedaan Sebuah Budaya”.
Besar harapan penulis makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca mengenai perbedaan sebuah budaya. Demikian yang dapat penulis
sampaikan. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Terimakasih.
LATAR BELAKANG
Manusia dalam kesehariannya tidak akan lepas
dari kebudayaan, karena manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan itu
sendiri. Manusia hidup karena adanya kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan
terus hidup dan berkembang manakala manusia mau melestarikan kebudayaan dan
bukan merusaknya. Dengan demikian manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, karena dalam kehidupannya tidak mungkin tidak berurusan dengan
hasil-hasil kebudayaan, setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan.
Rasa saling menghormati dan menghargai akan tumbuh apabila antar sesama manusia
menjujung tinggi kebudayaan sebagai alat pemersatu kehidupan, alat komunikasi
antar sesama dan sebagai ciri khas suatu kelompok masyarakat. Kebudayaan
berperan penting bagi kehidupan manusia dan menjadi alat untuk bersosialisasi
dengan manusia yang lain dan pada akhirnya menjadi ciri khas suatu kelompok
manusia. Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan alat sebagai jembatan yang
menghubungkan dengan manusia yang lain yaitu kebudayaan.
PERBANDINGAN BUDAYA INDONESIA DENGAN JEPANG
1.
Budaya
Budaya adalah kristalisasi nilai dan
pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan
berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan
budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan
antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin
dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat
saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.
2. Perbandingan
Budaya
Manusia
dalam kesehariannya tidak akan lepas dari kebudayaan, karena manusia adalah
pencipta dan pengguna kebudayaan itu sendiri. Manusia hidup karena adanya
kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan terus hidup dan berkembang manakala
manusia mau melestarikan kebudayaan dan bukan merusaknya. Dengan demikian
manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena dalam
kehidupannya tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan,
setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan. Rasa saling menghormati
dan menghargai akan tumbuh apabila antar sesama manusia menjujung tinggi
kebudayaan sebagai alat pemersatu kehidupan, alat komunikasi antar sesama dan
sebagai ciri khas suatu kelompok masyarakat. Kebudayaan berperan penting bagi
kehidupan manusia dan menjadi alat untuk bersosialisasi dengan manusia yang
lain dan pada akhirnya menjadi ciri khas suatu kelompok manusia. Manusia
sebagai mahluk sosial membutuhkan alat sebagai jembatan yang menghubungkan
dengan manusia yang lain yaitu kebudayaan.
3. Tradisi
Pemberian Nama
Bagi orang Indonesia yg datang di Jepang, saat registrasi,
misalnya membuat KTP sering ditanya mana yang family name, dan mana yang first
name. Hampir setiap saat saya harus selalu menjelaskan perbedaan tradisi antara
Indonesia dan Jepang, bahwa di Indonesia tidak ada keharusan memiliki family
name. Umumnya hal ini dapat difahami dan tidak menimbulkan masalah. Tetapi
adakalanya kami harus menentukan satu nama sebagai family name, misalnya saat
menulis paper (artikel ilmiah resmi), atau untuk kepentingan pekerjaan. Saat
itu saya terpaksa memakai nama “Nugroho” sebagai family name agar tidak
mempersulit masalah administrasi. Demikian juga saat anak saya lahir, kami beri
nama Kartika Utami Nurhayati. Nama anak saya walaupun panjang tidak ada satu
pun yang merupakan nama keluarga. Tetapi saat registrasi, pihak pemerintah
Jepang (kuyakusho) meminta saya untuk menetapkan satu nama yang dicatat sebagai
keluarga, karena kalau tidak akan sulit dalam pengurusan administrasi asuransi.
Akhirnya nama “Nurhayati” yang letaknya paling belakang saya daftarkan sebagai
nama keluarga. Bagi orang Jepang hal ini akan terasa aneh, karena dalam
keluarga kami tidak ada yang memiliki nama keluarga yang sama.
Masih berkaitan dengan nama, adalah masalah tanda tangan dan
inkan (stempel). Di Indonesia dalam berbagai urusan adminstrasi formal sebagai
tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda tangan. Tanda tangan ini harus
konstan. Banyak orang yang memiliki tanda tangan berasal dari inisial nama,
tetapi dengan cara penulisan yang unik yang membedakan dengan orang lain yang
mungkin memiliki nama sama. Tanda tangan ini juga yang harus dibubuhkan di
paspor saat seorang Indonesia akan berangkat ke Jepang. Tetapi begitu tiba di
Jepang, tanda tangan yang semula memiliki peran penting, menjadi hilang
perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki kekuatan formal. Tradisi
masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan adalah dengan memakai inkan (stempel).
Biasanya inkan ini bertuliskan nama keluarga. Ada beberapa jenis inkan yang
dipakai di Jepang. Antara lain :
·
“Mitomein”
(認印) dipakai untuk keperluan sehari-hari yang tidak terlalu penting, misalnya
saat menerima barang kiriman, mengisi aplikasi.
·
“Jitsuin”
(実印) dipakai untuk keperluan penting, seperti membeli rumah, membeli mobil.
Inkan tipe ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan.
·
“Ginkoin”
(銀行印) dipakai untuk membuka rekening di bank.
“Jitsuin” dan “ginkoin” sangat jarang
dipakai dan harus disimpan baik-baik. Karena kalau hilang akan menimbulkan
masalah serius dalam bisnis.
Bagi orang asing saat masuk ke Jepang
harus membuat inkan. Untuk membuat rekening bank, kita tidak boleh memakai
tanda tangan, dan harus memakai inkan. Kecuali yubinkyoku masih membolehkan
pemakaian tanda tangan. Karena tidak punya kebiasaan tanda tangan, banyak maka
orang Jepang kalau diminta untuk menanda tangan (di paspor misalnya), umumnya
mereka menuliskan nama lengkap mereka dalam huruf kanji. Barangkali karena inilah
maka kalau saya diminta seorang petugas pengiriman barang, untuk membubuhkan
tanda tangan sebagai bukti terima, dia berkata “tolong tuliskan nama lengkap
anda”, padahal itu di kolom signature. Sepertinya untuk mereka, tanda tangan
sama dengan menulis nama lengkap.
3.1. Pemberiaan
Nama di Indonesia
masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama
keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku
di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang,
kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dan
sebagainya. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia:
·
Suku
Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk
laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno,
Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
·
Suku
Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku
kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
·
Suku
Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
·
Suku
Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
·
Suku
Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan
merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari
tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam
: Abdurrahman Wahid, Abdullah, dan sebagainya. Sedangkan umat Katolik biasanya
memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dan sebagainya.
3.2. Pemberian
Nama di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first
name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho),
selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di
Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama
keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya
umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji,
nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama
keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan
Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga,
mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap
mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun
1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka
diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga [2]. Hal ini terjadi karena
pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”(家)
dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di
kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan
tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah
keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan
memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan
atau doa bagi kebaikan si anak.
3.3. Perbandingan
Kedua Tradisi
3.3.1. Persamaan antara kedua tradisi
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first
name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si
anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang
dipakai juga merupakan
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak. Umumnya
laki-laki di Jepang berakhiran “ro” (郎),
sedangkan perempuan berakhiran “ko” (子)
3.3.2. Perbedaan antara kedua tradisi
·
Di
Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di
Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor
pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk dicantumkan di akta
kelahiran
·
Di
Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti
nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita
tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan
di tengah, antara first name dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku
Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di
belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni,
maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati
proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
·
Huruf
Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh
pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di
Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai
nama anak.
4. Pemakaian
Gestur untuk Penghormatan dan Kasih Sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah
bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan, kasih saying,
permintaan maaf, dan rasa terimakasih. Jepang dan Indonesia memiliki cara
berlainan dalam mengekspresikan penghormatan, kasih sayang, permintaan maaf, dan
rasa terimakasih. Dibawah ini terdapat penjelasan mengenai Bahasa tubuh yang
dipakai untuk mengekspresikan penghormatan, kasih sayang, permintaan maaf, dan
rasa terimakasih.
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara
menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih,
permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei adalah ojigiyang
dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya
sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya
menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang
dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi
menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan
semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin
disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan
dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar
30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat
jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf
yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih
menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat
ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya
Indonesia, tidak dikenal ojigi.
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di
Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi
di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua
tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya
tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan,
pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada,
ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak
semata lahiriah, tapi juga dari batin.
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai
bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam
kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya dan dari orang
yang lebih muda ke yang lebih tua. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal.
Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal
tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap
seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik
Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat
kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium
tangan.
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua
orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang
anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Jika di Indonesia, cium pipi juga
biasanya dilakukan antara orang yang muhrim karena jika belum muhrim itu bisa
menjadi salah paham dan di anggap zinah. Jadi yang sering melakukan cium pipi
biasanya antar kaum wanita.
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat
Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem hamper sama dengan cium
tangan, tetapi yang membedakan yaitu caranya. Sungkem juga terlihat lebih sopan
dan menjiwai. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang
tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak
akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim),
sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, menunjukan kasih saying dan
rasa hormat kepada orang tua, dan juga untuk meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki
keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat dan rasa maaf. Jabat
tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun
Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal
budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan
melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh
gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata.
Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan
jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.
Secara umum, masyarakat Jepang menerjemahkan agama atau Tuhan
sebagai hal yang terpisah. Bagi mereka, agama adalah hal yang bersifat pribadi
dan tak ada satupun yang bisa mengusiknya. Bagi masyarakat Jepang, topik agama
adalah hal yang tabu untuk dibicarakan
dalam interaksi sosial, hal yang tentu saja berbeda dengan orang Indonesia.
Di Indonesia, ada kebiasaan sosial yang sering memisahkan
seseorang atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan agamanya. Apalagi di
Indonesia agama adalah hal yang sangat berpengaruh,
sering dijadikan alat untuk mencapai sebuah ambisi tertentu (tapi tidak semua
orang menjadikan agama seperti ini).
Jika di Indonesia sering terjadi perang antar agama, dimana
minoritas sering menjadi korban, hal ini justru tak terlihat di Jepang. Di
Jepang agama ada di ranah privat, layaknya alat kelamin. Mereka tidak dibebani
oleh rasa untuk mengekspos kepercayaan atau menyerang kepercayaan orang lain.
Jadi, saat kamu ke Jepang, jangan pernah membicarakan atau menanyakan agama
mereka. Pasalnya, hal seperti ini akan membuatnya merasa terusik, menganggap
kamu sebagai orang yang sangat selektif dalam memilih teman.
Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan budaya sendiri, namun harus
diakui bahwa bangsa Jepang lebih unggul dalam konteks kedisiplinan. Mereka
tidak mengenal istilah “Jam Karet”. Saat mereka membuat janji dan ternyata
terlambat, walaupun hanya 5 menit, mereka akan merasa sangat bersalah dan tak
henti-hentinya meminta maaf. Hal yang justru berkebalikan di Indonesia, di mana
tanpa disadari kebiasaan tidak tepat waktu sudah menjadi budaya. Lihat saja
bagaimana banyak diantara kita yang tidak peduli saat datang terlambat ke
sekolah, kampus, kantor, janjian dengan seseorang, atau ke manapun dengan tidak
ada rasa bersalah sedikit pun akan hal tersebut.
Perbedaan budaya yang kontras ini sangat berkaitan dengan
tingginya standar dan kebutuhan hidup di kedua Negara. Di Jepang, kebutuhan
hidup sangatlah tinggi, sehingga mereka benar-benar memanfaatkan waktunya
karena merka sudah menganggap waktu sebagai uang. Belum lagi tingkat persaingan
dan tututan kerja yang teramat tinggi, membuat mereka sangat menghargai waktu.
Bahkan jika memungkinkan, mereka siap untuk menjadikan sehari itu sebanyak 25
jam. Sebaliknya, persaingan yang tidak terlalu tinggi (jika dibandingkan dengan
Jepang) serta kebiasaan akan “semua bisa diatur” membuat orang Indonesia
akhirnya sangat mudah melakukan toleransi. Hal ini tentu sangat baik, namun
ketika toleransi tersebut berlebihan, akhirnya kedisiplinan itu berkurang dan
waktu menjadi hal yang tak berharga lagi.
Transportasi pribadi adalah favorit kebanyakan masyarakat
Indonesia, hal yang kemudian berdampak negatif bagi lalu lintas, utamanya di
Jakarta. Ada banyak alasan mengapa orang Indonesia enggan menggunakan
transportasi massal, seperti kebiasaan penumpang yang merokok, supir yang
ugal-ugalan, hingga pelecehan seksual. Selain hal tersebut, alat transportasi
juga menjadi semacam status sosial bagi masyarakat Indonesia. Kemudahan untuk
memiliki kendaraan serta pajak yang murah membuat mereka berlomba-lomba untuk
“mengoleksi” kendaraan, hal yang dipercaya bisa mentasbihkan status sosialnya.
Sebaliknya, masyarakat Jepang sangat menyenangi untuk
menggunakan transportasi massal. Mereka bisa berhemat lewat cara ini yang
sekaligus membantu perekenomian Negaranya sendiri. Minat yang besar dalam
menggunakan transportasi umum tersebut tidak terlepas dari fasilitas yang
nyaman, bersih, dan aman. Sementara itu, keinginan untuk memiliki kendaraan
pribadi bukanlah prioritas bagi masyarakat Jepang. Selain dikarenakan harga dan
pajak mobil yang terbilang tinggi, mereka juga sulit untuk mengukur waktu
perjalanan jika menggunakan kendaraan pribadi mengingt Jepang adalah negara
yang cukup padat penduduk. Berbeda jika mereka menggunakan transportasi umum
yang sudah dilengkapi dengan jam keberangkatan dan jam tiba secara tepat, hal
yang membuat mereka lebih mudah dalam mengukur waktu.
Jepang adalah Negara yang terkenal dengan menu makanan yang
segar serta mempertahankan cita rasa aslinya, di mana orang Indonesia
menyebutnya sebagai makanan mentah. Namun di Jepang, makanan seperti itu
dianggap sebagai makanan yang sehat. Hanya saja, aspek halal adalah hal yang
sangat sulit ditemui dalam makanan Jepang, mengingat mayoritas masyarakat
Indonesia adalah penganut agama Islam. Ya, makanan-makanan di Jepang didominasi
dengan komposisi daging babi.
Perilaku saat makan antar kedua Negara ini juga sangat
berbeda. Jika di Indonesia setiap anak diajarkan agar tidak mengeluarkan suara
saat makan, hal ini justru berkebalikan dengan budaya Jepang. Ketika orang
Jepang makan Ramen (mie khas Jepang), mereka diajarkan untuk mengeluarkan
suara. Pasalnya, suara yang ditimbulkan tersebut merupakan indikasi akan rasa
suka terhadap makanan tersebut yang sekaligus menunjukkan rasa hormat kepada
pembuat makanannya. Untuk minuman, masyarakat Jepang memiliki budaya minum teh
dan sake. Hal ini masuk dalam kategori budaya karena ada aturan-aturan tertentu
yang harus dilakukan. Misalnya saat minum teh, mereka harus duduk bersimpuh
layaknya sinden Jawa ketika menyanyi. Sebelum teh diteguk, cangkir harus
diletakkan di telapak tangan kiri kemudian diputar dengan tangan kanan sekitar
180 derajat. Jika kamu melewatkan hal ini, maka kamu akan dianggap tidak sopan.
Begitu juga dengan kebiasaan minum sake yang sudah menjadi budaya bagi
masyarakat Jepang. Hal ini sering dilakukan pada malam hari atau sepulang
kerja. Saat seseorang menuang sake, ia juga harus menuang untuk yang lainnya
dan mengatakan “kampai” sebelum yang lainnya bisa minum. Saat ada gelas yang
kosong, maka akan ada orang yang segera mengisinya. Di Indonesia, kebiasaan
seperti ini juga sering terlihat di kehidupan masyarakat pedesaan dengan
minuman bernama tuak atau arak.
Jepang terkenal dengan makanan yang segar dengan cita rasa
masih asli, mungkin orang Indonesia menyebutnya dengan mentah atau setengah
matang. Akan tetapi makan Jepang disebut sebagai The Healthy food in The World
karena kesegarannya. Dari semua masakan Jepang yang paling sulit ditemukan
adalah ke Halalan, karena kebanyakan komposisinya menggunakan bahan dari daging
babi. Saat akan makan sebaiknya kamu mengucapkan “itadakimasu” dan mengambil
sumpit yang disediakan. Hal yang kurang sopan dan tidak boleh dilakukan saat
makan adalah bersendawa, menancapkan sumpit di nasi, menjilat sumpit,
meletakkan sumpit secara silang, mengaduk sup dengan sumpit, menerima makanan
dari orang lain, menggali makanan, menggunakan untuk menunjuk orang dan
memotong makanan. Hal yang mungkin berbeda dengan budaya kita adalah
mengeluarkan suara saat makan sup merupakan bentuk rasa senang dan menikmati
makanan, jika di Indonesia mungkin itu adalah hal yang kurang sopan.
Teh dan sake adalah minuman yang sangat terkenal di Jepang. Aturan
saat minum teh juga harus dipahami, cara duduknya adalah dengan bersimpuh sama
seperti para sinden jawa saat menyanyi di kesenian wayang. Sebelum menengguk
teh, cangkir diletakkan di telapak tangan kiri dan putar cangkir sekitar 180
derajat dengan tangan kanan. Jangan sampai lupa hal ini jika kamu tidak ingin
dianggap tidak sopan, karena motif cangkir harus terlihat yang mengartikan
bahwa kamu benar-benar menikmati tehnya.
Minum sake sudah menjadi budaya sejak lama di Jepang. Biasanya akan dilakukan
setelah pulang kerja atau di malam hari. Saat minum sake bersama harus menunggu
seseorang mengatakan “kampai”, baru yang lainnya bisa minum. Ketika ingin
menuang sake, hendaknya tuang juga untuk yang lainnya. Jika ada gelas yang
kosong pasti aka nada orang lain yang mengisisnya, jadi jika kamu sudah merasa
pusing dan tidak ingin minum, sebaiknya habiskan sake dalam gelas kamu sampai
acara selesai jangan sekali teguk.
Arus kendaraan mengarlir dengan sangat tertib dan teratur,
hampir tidak terjadi kemacetan berarti dan suara klaslon mobil yang merupakan
suara umum khas jalan raya disamping deru mesin kendaraan, nyaris tidak
terdengar. Di sini pengendara bisa memacu kendaraannya dengan kecepatan yang
cukup tinggi tanpa ada rasa khawatir pengendara lain yang memotong jalan atau
penyebrang yang melintas secara mendadak, karena untuk menyebrang harus
dilakukan pada tempat yang sudah ditentukan, seperti zebra cross. Ketika
lampu merah, pengandara sudah pasti harus mengentikan kendaraannya, namun
walaupun lampu hijau, namun bukan berarti bisa belok kiri atau kanan jalan
terus karena disaat yang sama adalah lampu hijau untuk pejalan kaki untuk
menyebrang. Untuk kota kota yang berpenduduk padat, dengan jumlah penyebrang
yang mencapai puluhan orang, proses menunggu ini bahkan bisa berlangsung lebih
lama lagi.
Ketika penyebrang sudah habis, kembali harus berhenti karena
lampur merah yang kedua bukanlah hal yang tidak mungkin. Untuk kendaraan besar
sejenis truk, biasanya dilengkapi dengan speaker yang akan meberikan peringatan
ketika membelok secara berulang ulang. Di atas aspal juga terdapat tulisan
besar “Belok kiri tolong hati hati”. Aktivitas menyebrang jalan menjadi sangat
menyenangkan bukan saja aman dilakukan oleh orang dewasa, namun juga oleh anak
kecil, orang tua dan pengguna kursi roda. Kemacetan juga kadang terjadi, namun
bukan merupakan bagian dari keseharian. Bus kota misalnya, memiliki time
schedul, waktu berhenti di setiap halte dengan sangat tepat waktu. Toleransi
kelambatan biasanya tidak lebih dari tiga menit, bisa memberikan gambaran
bagaimana susana jalan di jepang.
Jika di Indonesia mungkin kendaraan umum sering berhenti
sesuka pengemudinya sehingga membuat macet dimana-mana. Perlakuan pengendara
terhadap pengguna jalan lainnya juga kurang baik, pengendara saling ingin
menang sendiri sehingga pejalan kaki yang akan menyebrang sangat kesulitan
untuk menyebrangi jalan. Tapi tidak semua pengendara di Indonesia itu buruk,
ada juga juga yang memiliki kesadaran.
12. Tempat
Tinggal
Indonesia
termasuk negara yang memiliki berbagai agama, yang mana agamanya mengajarkan
untuk tidak berbuat zinah, dan budaya budaya di Indonesia juga sangat membenci
perbuatan itu. Oleh karena itu di Indonesia jarang sekali yang tinggal satu
rumah dengan lawan jenis yang belum sah. Berbeda dengan di Jepang, jika di
Jepang bebas sekali untuk tinggal satu rumah dengan berlawanan jenis, apalagi
jika sudah berstatus pacaran.
13. Kebersihan
Di
Jepang kebanyakan masyarakat memiliki kesadaraan akan kebersihan, mereka sudah
tau harus dikemanakan sampah mereka. Ketika mereka melihat sampah yang tidak
berada di tempatnya, mereka akan menempatkan pada tempatnya. Jika di Indonesia
terutama di pedesaan, mereka biasanya melakukan suatu kerja bakti, untuk
membersihkan selokan, membetulkan jalan, dan sebagainya.
PENDAPAT
Pendapat penulis mengenai kedua budaya ini
yaitu keduanya memiliki nilai positifnya masing-masing. Budaya Jepang
positifnya lebih ke kemanusiaan, Budaya Indonesia positifnya lebih ke
keagamaan. Akan lebih bagus lagi jika kita menerapkan budaya Jepang yang akan
membawa perubahan baik untuk Indonesia dan tiap-tiap individu di Indonesia.
Contohnya menerapkan budaya memanajemen waktu.
KESIMPULAN
Dari perbandingan budaya antara
Indonesia dan Jepang, terdapat manfaat untuk mengetahui pola berfikir bangsa
Indonesia dan bangsa Jepang. kesulitan utamanya adalah perbedaan karakteristik
kedua bangsa, yang mana bangsa Jepang relatif homogen, sedangkan bangsa
Indonesia sangat heterogen. Tetapi, lewat perbandingan ini kita bisa saja
menerapkan salah satu budaya Jepang
yang akan membawa perubahan baik untuk Indonesia dan tiap-tiap individu di
Indonesia
SUMBER